Risk dan Decision Paralysis
Berdasarkan definisi risiko adalah yang terjadi setelah kita telah memperhitungkan semuanya. Jadi, tidak mungkin bisa mengcover 100% risiko. Karena itu mending membuat diri menjadi resilien.
Halo Sahabat #Gibah.
Terima kasih telah berlangganan newsletter #GibahInvestasi.
Gibah Investasi merupakan catatan berbaGI dari Tigor Siagian untuk memberi nilai tamBAH seputar masalah investasi dan keuangan. Gibah Investasi merupakan free newsletter dan dipublikasikan paling tidak sekali seminggu.
Ini adalah #GibahInvestasi edisi No. 37
Risk dan Decision Paralysis
Dalam kehidupan profesional maupun pribadi, dalam keseharian saya sering menemukan banyak orang yang ngotot ingin dapat mengcover 100% risiko yang mungkin akan terjadi dalam suatu keputusan. Tentunya kita tahu mereka tersebut pastinya terjerumus untuk tidak ngapa-ngapain. Bahasa kerennya Decision Paralysis.
Salah satu contoh adalah orang-orang yang terbukti bener ketika memutuskan keluar dari pasar saham dan investasi pas sebelum Global Financial Crisis di 2008, benar timing keluar dari pasar saham namun hingga saat ini sudah 15 tahun uang hasil exit tersebut masih ngendon dalam bentuk kas.
Kira-kira berapa return dalam kas tersebut vs seandainya dia tetap in the market?
Kalau mengacu pada buku dan podcast Housel soal risiko, banyak hal besar yang terjadi di dunia ini berasal dari hal-hal kecil yang tidak pernah dikira atau dibayangkan. Mulai dari perang dunia hingga terakhir bencana Covid-19.
Risk is what you don’t see kata Housel (2020). Kalau menggunakan definisi Carl Richards maka Risk is what's left over after you think you've thought of everything atau menurut Professor Elroy Dimson: Risk means more things can happen than will happen.
Risiko artinya surprises. Kejutan. Sesuatu yang terjadi di luar apa yang kita bayangkan dan pikirkan. Setiap hari dalam hidup kita berinteraksi dengan risiko. Bepergian ke luar rumah, memutuskan pasangan hidup, memilih sekolah. Tapi apakah kita pernah menghitung secara formal berapa % yang telah kita perhitungkan dari kemungkinan yang bisa terjadi? Jarang tentunya, dan itulah kenapa hingga saat ini kita masih ada di sini dengan pasangan hidup kita, menyelesaikan kuliah dan lain-lain.
Kalau semuanya harus beres dulu, maka kita hanya akan bisa membeku tidak melakukan apa-apa.
Seperti dalam finance kita menggunakan Value at Risk (VaR) dengan distribusi 5th percentile, terus meributkan risiko yang 5%. Lah, bukannya itu definisi risiko. Estimasi terbaik kita, mau 10%, 5%, atau malah 1%.
Terus apa kemudian estimasi 1% akan lebih baik dibandingkan 5%? Tentu tidak ada yang tahu sebelum kejadian. Yang bisa kita lakukan adalah dengan membuat diri kita resilien dengan mitigasi yang patut.
Bagaimana? Margin of safety di ketahanan kita atau margin of error di perkiraan kita.
Jadi kalau kita menghitung dengan probabilitas 5% error bahwa kita dapat mencapai dana pensiun 20 tahun dari sekarang dengan menabung 10% pendapatan per bulan berikut 10% return investasi per tahun, maka cara membuat diri kita resilien adalah (salah satunya) dengan menabung 20% pendapatan dan berasumsi bahwa return yang bisa kita dapatkan adalah maksimal cuma 5%.
Ini yang selalu diajarkan oleh Charlie Munger, yaitu memiliki mental models yang banyak dan lengkap. Agar tidak semua masalah diselesaikan dengan cara yang sama. Karena kalau kita hanya memiliki palu maka semua masalah kita lihat sebagai paku.
Invert, always invert kata Munger.
RIP, Charlie Munger (1924 - 2023)