Kita Adalah Manusia
Kita hidup dengan kerentanan bawaan kita, sebagai manusia. Agar tidak mudah ditipu, sebaiknya kita paham dengan kelemahan psikologis kita.
Halo Sahabat #Gibah.
Terima kasih telah berlangganan newsletter #GibahInvestasi.
Gibah Investasi merupakan catatan berbaGI dari Tigor Siagian untuk memberi nilai tamBAH seputar masalah investasi dan keuangan. Gibah Investasi merupakan free newsletter dan dipublikasikan paling tidak sekali seminggu.
Ini adalah #GibahInvestasi edisi No. 53
Kita Adalah Manusia
Hari Sabtu kemarin saya di-chat oleh seseorang, yang mendapatkan nomor HP saya dari seorang rekan. Inti dari yang ingin dia tanyakan adalah tentang sebuah peraturan tentang penyelenggaraan bisnis pembayaran. Peraturan tersebut disebutkan menjadi dasar dia diminta untuk menyetor sejumlah puluhan juta ke pihak tertentu, yang apabila tidak dilakukan maka dia tidak bisa menarik uang-nya dan terancam uang tersebut hangus serta akunnya ditutup.
Singkat cerita dari chat beserta informasi yang dia sampaikan saya langsung 99% yakin bahwa itu adalah salah satu modus penipuan. Dari penelusuran di internet lebih lanjut, saya menjadi yakin 100%, karena ternyata sudah banyak terjadi beberapa variasi dari kasus tersebut.
Sebagai manusia, Anda, saya, dan lainnya memiliki kerentanan bawaan. Karena kita adalah manusia. Kerentanan tersebut yang menjadi kelemahan ketika kita berinvestasi, atau saat menghadapi orang jahat di luar sana yang ingin menipu kita.
Seperti dikatakan karakter komik Pogo ciptaan Walt Kelly di bawah ini, “We Have Met the Enemy and He Is Us.” Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.
Penipuan dan kejahatan melalui penipuan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia. Dengan berbagai cara dan modus, termasuk menggunakan kemajuan teknologi terkini. Namun cara para penipu secara umum tidak banyak berubah. Terutama dengan menggunakan kelemahan manusia untuk mencapai tujuan mereka. Karena itu untuk memitigasi risiko penipuan tersebut, salah satu yang kita bisa dilakukan adalah dengan sadar dan paham akan apa saja kerentanan tersebut, berikut berbagai strategi yang umum digunakan.
Salah satu yang menjadi referensi utama penggunaan pengaruh dan persuasi dalam hubungan antar manusia adalah buku klasik karya Robert Cialdini "Influence: The Psychology of Persuasion.” Buku yang telah mengubah pemahaman akan pengaruh dan persuasi tersebut mengungkap berbagai strategi yang dimanfaatkan oleh penipu untuk mengeksploitasi kerentanan manusia.
Salah satu prinsip utama yang dibahas oleh Cialdini dalam "Influence" adalah prinsip scarcity atau kelangkaan yang di tangan penipu menjadi senjata psikologis yang ampuh. Manusia cenderung lebih tertarik pada sesuatu yang langka atau terbatas. Kesan kelangkaan akan dapat menciptakan sensasi kekurangan atau kebutuhan mendesak untuk memicu tindakan impulsif dari calon korban. Mereka mungkin mengatakan bahwa penawaran mereka hanya tersedia untuk waktu yang terbatas atau bahwa produk atau layanan mereka hanya tersedia dalam jumlah terbatas. Hal tersebut kemudian dapat mendorong korban untuk bertindak dengan cepat tanpa berpikir panjang.
Dengan desakan waktu yang terbatas, sedikit waktu yang tersedia untuk mengevaluasi tawaran dengan kepala dingin. Untuk mampu memikirkan secara matang. Desakan waktu juga memberikan tiada waktu tersisa untuk berkonsultasi dengan orang lain. Waktu yang terbatas juga mendorong perilaku FOMO.
Selanjutnya, prinsip reciprocation atau prinsip “timbal balik.” Manusia secara alami cenderung merasa terikat untuk membalas jasa atas apa yang telah diberikan oleh orang lain. Penipu sering menggunakan prinsip ini dengan memberikan sesuatu secara gratis atau dengan harga lebih rendah, lalu mengharapkan balasan dalam bentuk keuntungan yang lebih besar. Contohnya penawaran hadiah gratis yang sebenarnya merupakan jebakan untuk memancing korban agar mau terlibat dalam skema yang ditawarkan.
Prinsip berikutnya adalah social proof atau bukti sosial, dimana manusia cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain, terutama dalam situasi yang tidak jelas. Pengaruhnya pun semakin kuat apabila orang tersebut memiliki pengaruh atau otoritas. Penipu memanfaatkan prinsip tersebut untuk menciptakan ilusi kepopuleran atau dukungan bagi skema yang mereka tawarkan. Mereka mungkin saja menggunakan testimonial palsu atau menyebarkan informasi palsu tentang seberapa banyak orang lain yang telah memanfaatkan apa yang mereka tawarkan.
Tergocek contoh dari member yang berhasil, misalnya. Contoh-contoh yang dibarengi dengan screenshot slip transfer sebagai bukti keberhasilan. Mempertontonkan kepemilikan handphone baru, uang tunai yang berlimpah. Di zaman medsos saat ini itu artinya foto, video, reels atau tiktok yang memperlihatkan harta hasil dari skema yang ditawarkan.
Bukti. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Kita membandingkan dan mengikuti. Pengen seperti orang lain. Di suatu WA Group yang dibuat khusus untuk member. Walaupun kita tidak tahu dengan jelas apakah anggota dalam WA Group tersebut yang memamerkan keberhasilan sejatinya memang benar member, dan bukan bagian dari rekayasa psikologis untuk membuat calon korban percaya.
Di balik semua strategi dan teknik tersebut, ada satu kesamaan yang mencolok: penipu memanfaatkan kelemahan manusia, baik itu dalam hal emosi, pikiran, atau perilaku, untuk mencapai tujuan mereka. Mereka memanfaatkan rasa takut atau keserakahan kita untuk mempengaruhi dan mengarahkan kita ke arah yang mereka inginkan.
Dengan memahami bagaimana penipu menggunakan prinsip-prinsip psikologis tersebut untuk untuk memanipulasi korban mereka, mudah-mudahan dapat membuat kita dapat lebih waspada terhadap upaya-upaya penipuan. Walaupun demikian harus diingat bahwa tidak ada seseorang pun yang sepenuhnya imun terhadap penipuan. Bahkan orang yang paling cerdas dan berpendidikan sekalipun bisa jadi korban jika mereka tidak waspada dan tidak alert mengenal tanda-tanda bahaya.
Oleh karenanya penting untuk terus meningkatkan literasi serta pemahaman akan psikologis kita sendiri, serta untuk selalu mempertahankan kewaspadaan terhadap upaya-upaya penipuan, karena sekali lagi: kita adalah manusia.
It's like being book smart (for me) is not enough, karena seperti international relations, ada defensive realism dan ada offensive realism. Di psikologi juga ada pendekatan patologis dan ada Internal Family System. I agree that understanding our strength as well as the weakness is good way.