Investor Fanatik
Investasi bukanlah status game. Saat berinvestasi cara pikir tersebut bisa bikin boncos.
Halo Sahabat #Gibah.
Terima kasih telah berlangganan newsletter #GibahInvestasi.
Gibah Investasi merupakan catatan berbaGI dari Tigor Siagian untuk memberi nilai tamBAH seputar masalah investasi dan keuangan. Gibah Investasi merupakan free newsletter dan dipublikasikan paling tidak sekali seminggu.
Ini adalah #GibahInvestasi edisi No. 24.
Investor Fanatik
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang menganggap investasi mereka sesuatu yang bersifat sangat pribadi? Kadang bersikap sangat sensitif apabila disinggung mengenai investasi mereka tersebut. Entah berupa saham emiten tertentu, koin kripto ataupun aset investasi lain seperti rumah atau emas. Beberapa cenderung malah terkesan bersikap fanatik buta, membela mati-matian tidak peduli apapun yang dikatakan orang.
Saya beberapa waktu lalu membaca melalui media sosial ungkapan kegembiraan beberapa investor karena mendapatkan dividen yang besar dari emiten jagoan mereka yang telah dikekep dalam waktu yang cukup lama. Dividen yang diberikan saat itu mencerminkan porsi keuntungan yang dibagikan kepada pemegang saham (atau istilah teknisnya DPR/dividend payout ratio) mendekati 100%. Atau hampir seluruh laba di tahun itu. Salah satu argumen pendukung keceriaan adalah kalau menurut signaling theory dalam corporate finance, hal tersebut dapat diartikan indikasi optimisme direksi terhadap pertumbuhan laba di masa depan.
Di satu sisi walau pendapatan investor dari dividen secara nominal cukup besar, namun hal tersebut terjadi di tengah harga saham yang berada dalam tren penurunan. Berdasarkan harga tertinggi, malah sudah turun sekitar 70-an persen. Dengan memperhitungkan baik penerimaan dividen serta unrealised return berdasarkan harga saham apabila investor membeli di saat rentang harga tertinggi 4-5 tahun lalu, secara total return investasi pada emiten tersebut dapat dikatakan cukup apes. Apabila dibandingkan relatif terhadap harga saham, dividen tersebut sebenarnya juga hanya menghasilkan yield kurang dari 2% per tahun, atau kurang dari setengah yield yang dihasilkan apabila ditempatkan di instrumen pasar uang atau “setara cash” yang sebesar 5%-an.
Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, hedge fund terbesar di dunia pernah mengatakan bahwa “Cash is Trash” di saat suku bunga global di tingkatan yang sangat rendah dan bahkan beberapa malah memberikan yield negatif. Saat itu tentu banyak orang yang mendukung dan mengelu-elukan pernyataan beliau. Namun saat ini ketika suku bunga meningkat sejalan dengan respons otoritas terhadap inflasi, sikap mereka pun dapat dipastikan berubah, mungkin turut mengaminkan kalau saat ini bukan hanya cash jauh dari predikat bawah sebagaimana sampah (trash), namun juga bahwa “Cash is King.”
Memiliki cash yang cukup di saat kenaikan suku bunga bukan hanya menyebabkan korporasi dapat berlaku defensif dengan durasi yang pendek sebagaimana halnya eksposure cash serta berjaga dari sisi likuiditas namun juga ternyata menguntungkan. Dalam artikel berjudul The Secret to Earning $1 Billion by Doing Nothing, Bloomberg melaporkan bahwa tidak seperti dugaan pada umumnya, korporasi besar tidak serta merta dirugikan dengan kenaikan suku bunga dalam dua tahun terakhir ini. Banyak perusahaan dalam daftar indeks S&P 500 malah diuntungkan dengan kenaikan bunga karena pendapatan dari cash mereka yang berlimpah melampaui biaya utang. Beberapa perusahaan seperti Berkshire Hathaway milik Buffett dan Google, mampu mendapatkan hasil ratusan juta hingga miliar hanya dengan doing nothing menduduki timbunan uang cash di rekening mereka.
Bagi saya sikap Dalio dan pendukungnya maupun lainnya yang seolah plin-plan terkait cash di atas tentu tidak mengherankan, karena untuk kukuh pada pendirian di suatu investasi itu hal yang cukup berbahaya. Seperti (konon) pernah dikatakan oleh John Maynard Keynes: “When the facts change, I change my mind - what do you do, sir?” Fenomena tersebut juga mengajarkan kepada kita sebagai investor agar tidak terlalu ngotot dan bersikap fanatik dengan pendapat mengenai valuasi atau kondisi suatu investasi. Kalau faktanya telah berubah, kalau situasinya menyatakan investasi kita berada dalam posisi rugi berkepanjangan ke depan, maka sebaiknya tidak perlu bersikukuh dan secepatnya melakukan sesuatu.
Tapi kok banyak yang tetap ngotot dengan pendirian yang bahkan secara obyektif pun sudah tidak sesuai? Kalau pendapat saya hal ini salah satunya karena menyangkut image diri yang dibangun, dipertahankan karena seperti yang dikatakan Will Storr (2021) dalam bukunya “The Status Game: On Human Life and How to Play It: On Social Position and How We Use it”: masing-masing kita memainkan peran dalam suatu permainan yang disebut status game. Dalam status game, individu cenderung melakukan tindakan yang mengamankan posisi sosial atau status di mata orang lain. Dalam konteks investasi, fenomena ini dapat dilihat dalam upaya untuk mempertahankan citra positif antara lain sebagai investor yang cerdas dan tahu segalanya. Status game juga merujuk pada dorongan bawah sadar kita untuk berkompetisi dengan orang lain dan merasa lebih baik atau lebih sukses dari mereka.
Status game tersebut lebih jauh dapat diibaratkan sebagai dampak atas keberpihakan atau pernyataan akan afiliasi kita terhadap yang dikatakan Housel (2022) sebagai kelompok atau tribe: “Everyone belongs to a tribe and underestimates how influential that tribe is on their thinking.”
Housel menyatakan bahwa tribe ada di mana-mana: negara, wilayah, partai, perusahaan, industri, departemen, gaya investasi, filosofi ekonomi, agama, keluarga, sekolah, jurusan, kredensial, maupun komunitas di Twitter. Individu tertarik pada tribe karena merasa nyaman ketika tahu orang lain akan dapat memahami latar belakang dan tujuan yang dimiliki. Namun eksistensi dari tribe mengurangi kemampuan dari masing-masing individu untuk menantang gagasan maupun mendiversifikasi pandangan karena tentunya tidak ada yang ingin kehilangan dukungan dari kelompok atau tribe. Seperti halnya individu tribe tentu saja juga memiliki kepentingan, yaitu untuk mendorong gagasan dan narasi yang dapat mempromosikan kelangsungan hidup mereka sebagai kelompok.
Jadi ketika Anda memproklamirkan, bahkan apabila hanya dalam tataran pikiran, bahwa Anda merupakan bagian dari tribe tertentu, apakah sebagai trader, crypto bros, atau value investor sebagaimana para investor emiten di atas, Anda bisa berada dalam situasi yang sulit dan berpotensi menjadikan Anda sebagai investor fanatik. Lebih lanjut hal ini menjadikan investor rentan terhadap bias konfirmasi (confirmation bias). Mencari tanggapan, berita, analisis yang mendukung atas keputusan investasi yang telah ditetapkan, serta hanya memilih informasi yang menegaskan atau memperkuat keyakinan atau nilai-nilai yang Anda yakini.
Confirmation bias adalah kecenderungan manusia untuk mencari, mengingat, serta memberikan bobot yang lebih banyak pada informasi yang mengkonfirmasi pandangan atau keyakinan yang sudah ada dan terbentuk. Sementara itu mengabaikan atau meremehkan informasi yang bertentangan dengan apa yang telah dipercayai. Ini adalah bentuk pemahaman selektif, di mana pikiran kita secara alami cenderung mencari validasi atas apa yang kita percayai, daripada menghadapi informasi yang mungkin menggoyahkan pandangan tersebut. Dalam bahasa investasi mungkin mereka ini dapat dikatakan sebagai investor yang “Long, baru Bullish.” Jadi berpikiran optimis atau bullish setelah membeli atau memiliki suatu aset, dan bukan sebaliknya: berpikiran bullish baru membeli aset.
Dalam berinvestasi, confirmation bias dapat memiliki dampak yang signifikan. Bayangkan sebagai investor Anda telah melakukan riset mendalam tentang suatu emiten dan meyakini bahwa saham dari emiten tersebut akan naik. Karena keyakinan tersebut Anda cenderung mencari berita atau analisis yang mendukung pandangan, dan bahkan mungkin mengabaikan petunjuk yang mengindikasikan sebaliknya. Ini dapat mengakibatkan Anda melewatkan informasi penting yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi.
Apabila Anda merasa kalau telah terperosok dalam berperilaku yang menunjukkan confirmation bias, berikut beberapa langkah sederhana dalam mencegahnya:
Bijak Menggunakan Media Sosial. Seiring perkembangan media sosial, banyak investor yang terjebak dalam mengejar informasi yang mengkonfirmasi pandangan yang mereka percayai. Atau dalam terminologi komunikasi, masuk ke dalam echo chamber, atau ruang gema adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri. Untuk mencegahnya, cobalah untuk follow akun atau berbagai narsum yang memiliki pandangan berbeda, bukan hanya yang sejalan dengan apa yang Anda percayai. Hal tersebut dapat membantu Anda mendapatkan pandangan yang lebih seimbang.
Kritis terhadap nasehat-nasehat shortcut. Contoh paling mudah adalah pengulangan (secara tidak tepat) kata-kata Peter Lynch untuk membeli saham dari emiten yang menghasilkan atau memproduksi barang-barang yang anda gunakan sehari-hari. Investor sering kali tergoda untuk memilih saham berdasarkan merek yang mereka sukai atau produk yang mereka gunakan. Selain bukan best practice dalam investasi, hal tersebut juga dapat mengakibatkan penilaian yang tidak obyektif. Selalu lakukan analisis fundamental dan keputusan entry price yang tepat dan mendalam sebelum mengambil keputusan investasi. Ingat, perusahaan yang bagus tidak sama dengan investasi yang baik. Investasi yang baik umumnya ditentukan oleh harga pembelian, bukan dari citra suatu perusahaan.
Ingatlah bahwa investasi bukanlah perlombaan atau status game. Investasi bukan semata pameran screenshot aplikasi online atau lomba investor dengan investasi multibagger. Gunakan internal benchmark, yaitu tujuan investasi jangka panjang Anda sebagai patokan kesuksesan. Investasi yang dilakukan orang lain bukanlah patokan yang baik. Anda tidak tahu intensi, motivasi maupun pergumulan yang dihadapi orang lain. Seperti dikatakan Housel (2020): “Wealth is what you don’t see.” Usahakan untuk melakukan riset sendiri sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Jangan ragu untuk bertanya dan mencari nasihat dari sumber yang dapat dipercaya sebelum mengambil keputusan.