Cukup
Pencapaian tujuan keuangan hal yang penting untuk mendukung tujuan-tujuan pribadi. Rasa sesal karena tidak mencapai lebih hanya bisa dihilangkan dengan rasa cukup, yang bukan berasal dari uang.
Halo Sahabat #Gibah.
Terima kasih telah berlangganan newsletter #GibahInvestasi.
Gibah Investasi merupakan catatan berbaGI dari Tigor Siagian untuk memberi nilai tamBAH seputar masalah investasi dan keuangan. Gibah Investasi merupakan free newsletter dan dipublikasikan paling tidak sekali seminggu.
Ini adalah #GibahInvestasi edisi No. 40
Cukup
Saat melakukan evaluasi pencapaian tujuan keuangan di akhir tahun, umumnya ada tiga jenis hasil: kurang dari target, sesuai target serta lebih dari target. Namun saya juga biasa mendengar satu variasi lain: “lebih dari target, tapi seandainya…” Perandaian tersebut biasanya berupa penyesalan karena tidak bisa lebih tinggi lagi dari hasil yang telah dicapai walaupun sudah di atas target.
“Seandainya lebih banyak alokasi di aset X”, “seandainya dulu membeli aset Y”, “seandainya kemarin melakukan Z” dan sebagainya. Istilah teknisnya disebut sebagai regrets of omission, penyesalan atas hal yang tidak dilakukan.
Suatu hal yang manusiawi. Seperti dijelaskan (almarhum) Charlie Munger dalam sesi tanya jawab di tahun 2001:
“The mistakes that have been most extreme in Berkshire's history are mistakes of omission. They don't show up in our figures. They show up in opportunity costs. In other words, we have opportunities, we almost do it. In retrospect, we can tell that we were very much mistaken not to do it...
But practically everywhere in life, and in corporate life, too, what really costs, in comparison with what easily might have been, are the blown opportunities. I mean, it's just... it's an awesome amount of money.”
Tentu kita bisa berdalih kalau Munger cerita tentang Berkshire Hathaway, penyesalan atas strategi dan kesempatan yang luput. Dan disesali berdasarkan pengetahuan atas apa yang telah terjadi (in retrospect).
Lebih jauh Buffett, rekan Munger di Berkshire Hathaway menambahkan bahwa penyesalan itu lumrah dan bukanlah suatu kesalahan apabila merupakan hal yang berada di luar lingkaran kompetensi kita.
“When we speak of errors of omission, of which we've had plenty, and some very big ones, we don't mean not buying some stock where... a friend runs it, or we know the name and it went from one to 100. That doesn't mean anything.
We only regard errors as being things that are within our circle of competence… An error is when it's something we understand, and we stand there and stare at it, and we don't do anything. Or worse yet, what really gets me is when we do something very small with it. We do an eyedropper's worth of it, when it could do it very big... Those are huge mistakes.”
Jadi kalau yang disesali adalah kejadian counterfactual yang sebenarnya berada di luar kemampuan Anda untuk memahami sebelum kejadian, seharusnya penyesalan itu tidak perlu terjadi. Karena hal yang mungkin terjadi bisa saja berbeda 180 derajat dari apa yang telah terjadi. Dengan kata lain yang Anda sesali karena hasilnya positif, bisa saja dengan alternatif sejarah yang lain malah merupakan bencana bagi Anda. Karena apa yang telah terjadi, kita tahu, hanya merupakan satu realisasi dari jutaan dan bahkan milyaran kejadian yang mungkin terjadi.
Dan kita tahu Munger sendiri yang paham atas kelemahan dan bias manusia, serta juga kaya raya, di bulan terakhir sebelum meninggal pun penyesalan tersebut masih hadir dan menginginkan lebih seperti dalam wawancara yang dikutip oleh Ben Carlson dalam blognya ini.
Sama seperti Carlson, saya merasa apa yang dikatakan Munger bahwa dunia ini digerakkan bukan oleh keserakahan namun oleh iri hati, bisa jadi berasal dari pengalaman pribadi.
“It’s not greed that drives the world, but envy.” - Charlie Munger
Iri hati merupakan bentuk keinginan, dalam arti negatif, seperti perasaan cemburu. Iri mencerminkan rasa terhadap hal yang dimiliki orang lain namun tidak kita punyai. Hal tersebut juga yang membuat orang untuk tidak mudah puas setelah mencapai tujuannya. Mereka yang memiliki harta, mencapai tingkat tertentu, namun tidak bisa mengatakan cukup dan berpuas, dan merasa selalu lebih rendah atau kurang dibandingkan yang sebenarnya.
Itu mungkin terjadi karena pada dasarnya segala hal di dunia ini relatif. Kalau tujuan kita hanya ingin bahagia sebenarnya mudah, menurut Montesquieu, namun masalahnya adalah kita ingin lebih bahagia relatif terhadap orang lain. Dan itu sangat sulit untuk dicapai karena kita pada dasarnya akan selalu merasa bahwa orang lain lebih bahagia dari mereka yang sebenarnya.
Dalam pencapaian finansial hal itu juga yang membuat orang tidak merasa cukup. Karena setelah mencapai tingkatan tertentu, lingkungan kita juga meningkat, konsumsi kita pun turut naik. Dan ukuran relatif kita juga berubah, benchmark kita berubah. Naik ke kalangan yang lebih kaya, sejalan dengan kenaikan kemampuan kita. Makanya itu kemudian dikenal istilah hedonic treadmill. Kita melakukan perlombaan dengan gawang yang selalu bergeser, sehingga membuat kita sebenarnya jalan di tempat seperti halnya di atas treadmill.
Jadi perasaan tidak puas serta menyesal karena tidak mencapai lebih, bahkan setelah pencapaian sesungguhnya telah melebihi yang seharusnya, hanya bisa dihilangkan apabila kita bisa merasa cukup.
Seperti dikutip almarhum John Bogle, pendiri Vanguard dan salah satu tokoh besar finansial, dalam pidatonya saat wisuda di Georgetown University:
“At a party given by a billionaire on Shelter Island, the late Kurt Vonnegut informs his pal, the author Joseph Heller, that their host, a hedge fund manager, had made more money in a single day than Heller had earned from his wildly popular novel Catch 22 over its whole history. Heller responds, “Yes, but I have something he will never have . . . Enough.”
Dan rasa cukup itu, kepuasan itu, kita tahu tidak akan dapat dipenuhi dari uang, dari kekayaan yang untuk batasnya tidak seorang pun akan bisa merasa cukup. Namun berasal dari hubungan personal, dari keluarga, dari pasangan, dari kecintaan akan hobi dan aktivitas lain. Uang hanya bisa memenuhi faktor tertentu. Uang hanya bisa memfasilitasi dan mendukung hal tersebut. Namun tanpa uang pun kepuasan dan rasa cukup sepertinya bisa tetap diperoleh.
Selamat hari Natal, 25 Desember 2023 bagi Sahabat Gibah yang merayakan.
Thanks Pak Tigor.
Pas banget di tulisan terbaru saya juga mengutip dari Montesquieu.
Happy Christmas Pak Tigor dan Keluarga!